
Meninggalkan Muamalat
Sejak awal, Pemerintahan Saudi Arabia, merupakan sekutu Barat (bermula dengan British, kemudian Amerika Syarikat), dan menjadi semakin erat dengan penemuan minyak pada tahun 1950-an. Beroperasinya perusahaan minyak raksasa (Aramco = Arabian-American Oil Company) dengan markas besarnya di Dahran, di tempat yang sama dengan Pangkalan Tentera AS (i 1946), di Hijaz, merupakan simbol dan sekaligus sumber kekuasaan Rejim Sa'ud sampai ketika ini. Semakin hari kita semakin kita ketahui Rejim Saud makin meninggalkan muamalat dan mendakap kapitalisme barat.
Raja Abdul Aziz bin Sa'ud, pengasas Saudi Arabia, berkuasa penuh mulai tahun 1926 sampai 1953. Pada mulanya, setelah memasuki Mekkah (8 Jumadil Ula 1343 H), beliau menolak wang kertas di wilayahnya, setelah memusnahkan wang kertas lira Turki sekular yang beredar di Haramain. Pada masa pemerintahannya, jamaah haji dari penjuru dunia menggunakan belbagai jenis koin emas dan perak dari negara masing-masing. Namun koin dinar Hashimi dan riyal perak Austria - Maria Theresa, juga riyal perak Hijaz yang paling popular di sana.
Maka, pada tahun 1950-an, adat kisah Raja Abdul Aziz yang selalu membawa harta kerajaan yang berupa koin emas-perak kemanapun dia pergi bagaikan orang kolot dan primitif. Namun setelah dia wafat, penggantinya, Raja Sa'ud bin Abdul Aziz (1953-1964), bersikap lain. Sejak ia berkuasa, dengan bantuan teknikal Amerika Syarikat pada tahun 1952 Arab Saudi Monetary Agency (SAMA) ditubuhkan dan menerbitkan wang kertas riyal pada tahun 1961 melalui Dekrit Kerajaan 1.7. 1379 H, dalam pecahan 1 - 100 riyal.
Raja tergiur menerbitkan wang kertas kerana lebih menguntungkan daripada mencetak koin-koin riyal perak. Idea wang kertas diambil dari usaha SAMA atas penerbitan wang kertas resit yang berjalan dalam percubaan (trial) pada musim haji sepanjang tahun 1953-1957. Dengan menerbitkan Haj Pilgrim Receipt dalam satuan riyal perak, SAMA mulai menarik semua jenis koin emas dan perak yang beredar di Haramain. Para jamaah haji dari luar negera pun diwajibkan menukarkan koin emas perak yang mereka bawa.

Lihat apa yang ditulis dibawah ... THE SAUDI ARABIAN MONETARY AGENCY HOLDS IN ITS VAULT TEN RIYAL AT THE DISPOSAL OF THE BEARER OF THIS FULLY NEGIOTABLE RECIEPT ....
Setelah populer, kupon haji itu pun kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1963 dan akhirya tanggal 20 Mac 1964, diganti dengan wang kertas riyal.
10 Riyal 1968 – Tiada lagi sandaran Perak.
Masalahnya sejak saat itu, ONH atau BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) wajib dibayar dalam wang kertas dolar AS, bukan dengan wang kertas riyal! Sebab Kerajaan Saudi Arabia telah menyepakati pula berlakunya perjanjian Bretton Wood (1944), yang menyatakan bahwa dolar AS adalah satu-satunya mata wang yang laku untuk transaksi internasional. Segala transaksi dengan koin dinar Hashimi dan riyal perak (1 riyal = 4 dirham), termasuk koin real Maria Theresa di batalkan oleh negara. Maka umat Islam sedunia berduka atas hilangnya mata uang syariah dinar dan dirham.
Genaplah sudah makna hadis dengan maksud berikut: "Tak seorang pun manusia yang tidak memakan riba" yang diriwayatkan oleh Abu Daud, semoga Allah merahmatinya. Dinar dan Dirham dihapuskan sampai dua kali, pertama 1914 oleh Sultan-sultan boneka sisa Daulah Utsmaniah(Turki), dan keduanya pada tahun 1964 oleh KSA tersebut di atas. Tapi para ulama belum dapat mengambil kesimpulan dari terbitnya wang kertas riyal ini, tentang status halal-haramnya wang kertas. Sampai, akhirnya, diterbitkan fatwa tentang wang kertas, pada tahun 1984, yang menyatakan bahwa wang kertas adalah halal.
Lahirlah Fatwa : "Berkenaan hukum wang kertas fiat : Ia adalah matawang pada hukumnya disebabkan padanya terdapat sifat nilai harga yang lengkap, dan oleh itu semua hukum hakam yang ada pada emas dan perak adalah jatuh kepada wang kertas fiat seperti hukum berkaitan riba, kewajiban zakat, jual beli secara salam, dan seluruh hukum emas dan perak. (qararat wa tawsiat, Majma Al-Fiqh Al-Islami, hlm 40)
Begitulah, sejarah Islam yang dapat kita ketahui, fatwa Saudi Arabia yang menghalalkan wang kertas, satu-satunya fatwa resmi dari suatu pemerintahan ("Islam") di dunia ini. Tetapi, kisah ringkas sejarah ekonomi politik Saudi Arabia sebagaimana diuraikan di atas, kiranya cukup menjelaskan mengapa Saudi Arabia menggunakan riyal kertas, dan bukan Dinar emas dan Dirham perak.

Nama Shaykh Umar Ibrahim Vadillo mulai dikenal luas di dunia internasional pada awal 1990an. Ini dimulai ketika ia, sebagai pemuda berusia 28 tahun, mencetak kembali koin Dinar emas dan Dirham perak di Granada, Spanyol, pada 1992. Tindakan ini ia lakukan sebagai konsekuensi dari terbitnya Fatwa Haramnya Uang Kertas sebagai Alat Tukar yang ia terbitkan setahun sebelumnya, 1991. Fatwa itu sendiri ia terbitkan sesudah beberapa tahun mempelajari secara mendalam persoalan muamalat dan riba dalam syariat Islam.
Sekitar sepuluh tahun kemudian, krisis moneter sejenis kembali terjadi, kali ini di jantungnya sendiri yaitu di AS dan Eropa. Dimulai pada akhir 2008, dengan persoalan gagal bayar pada kredit perumahan di AS, yang diikuti dengan kebangkrutan beberapa perusahaan finansial, seperti Lehman Brothers, dunia terus dibayangi bencana keuangan global. Sampai lewat pertengahan 2010 krisis keuangan di Eropa, dengan pusatnya di Yunani dan mulai menular ke Spanyol dan Portugal, membuka mata dunia akan kebenaran segala yang disampaikan oleh Shaykh Abdalqadir sejak dua tiga dekade lalu. Pengenalan kembali Dinar dan Dirham pun semakin luas diterima.
Selain Dinar dan Dirham yang kini mulai diterapkan di mana-mana Shaykh Umar menghadirkan sejumlah pengetahuan kepada kita melalui berbagai karya tulisnya, baik berupa buku, risalah, artikel, maupun naskah pidato. Dua buku yang ia tulis pada awal 1990an adalah The End of Economics (1991), kemudian The Return of Islamic Gold Dinar (1996), dua judul buku yang merefleksikan perjalanan perjuangannya. Pada tahun 2003 sebuah bukunya yang lain, setebal hampir 1000 halaman, The Esoteric Deviation in Islam, diterbitkan. Buku ini membedah penyakit yang diderita oleh sebagian kaum muslimin sendiri, yang dalam kurun lebih dari 150 tahun belakangan ini, mengambil jalan yang keliru, yakni mengasimilasikan Islam kedalam kapitalisme.
Menjelang akhir 2006 Shaykh Umar kembali mengeluarkan sebuah fatwa penting, Fatwa on Banking and the Use of Interest Received on Bank Deposits (Fatwa tentang Perbankan dan Penggunaan Bunga Deposito). Ini adalah sebuah dokumen fatwa setebal 66 halaman ia tulis dengan cukup komprehensif. Fatwa ini memberikan panduan yang jelas atas kebingungan umat Islam dalam kenyataan sehari-hari yang masih tidak lepas dari urusan dengan sistem riba, yakni sistem perbankan. Terakhir, sebagai bagian dari yang ia lakukan di Kelantan, pertengahan 2010, Shaykh Umar kembali menulis sebuah fatwa, yakni tentang zakat, berjudul Fatwa on the Payment of Zakat: Using Dinar and Dirham the Issue of Ayn and Dayn in Zakat. 

