Monday, December 26, 2011

Arab Saudi Meninggalkan Muamalat Dan Guna Wang Kertas Riba


Meninggalkan Muamalat


Sejak awal, Pemerintahan Saudi Arabia, merupakan sekutu Barat (bermula dengan British, kemudian Amerika Syarikat), dan menjadi semakin erat dengan penemuan minyak pada tahun 1950-an. Beroperasinya perusahaan minyak raksasa (Aramco = Arabian-American Oil Company) dengan markas besarnya di Dahran, di tempat yang sama dengan Pangkalan Tentera AS (i 1946), di Hijaz, merupakan simbol dan sekaligus sumber kekuasaan Rejim Sa'ud sampai ketika ini. Semakin hari kita semakin kita ketahui Rejim Saud makin meninggalkan muamalat dan mendakap kapitalisme barat.


Raja Abdul Aziz bin Sa'ud, pengasas Saudi Arabia, berkuasa penuh mulai tahun 1926 sampai 1953. Pada mulanya, setelah memasuki Mekkah (8 Jumadil Ula 1343 H), beliau menolak wang kertas di wilayahnya, setelah memusnahkan wang kertas lira Turki sekular yang beredar di Haramain. Pada masa pemerintahannya, jamaah haji dari penjuru dunia menggunakan belbagai jenis koin emas dan perak dari negara masing-masing. Namun koin dinar Hashimi dan riyal perak Austria - Maria Theresa, juga riyal perak Hijaz yang paling popular di sana.


Maka, pada tahun 1950-an, adat kisah Raja Abdul Aziz yang selalu membawa harta kerajaan yang berupa koin emas-perak kemanapun dia pergi bagaikan orang kolot dan primitif. Namun setelah dia wafat, penggantinya, Raja Sa'ud bin Abdul Aziz (1953-1964), bersikap lain. Sejak ia berkuasa, dengan bantuan teknikal Amerika Syarikat pada tahun 1952 Arab Saudi Monetary Agency (SAMA) ditubuhkan dan menerbitkan wang kertas riyal pada tahun 1961 melalui Dekrit Kerajaan 1.7. 1379 H, dalam pecahan 1 - 100 riyal.


Raja tergiur menerbitkan wang kertas kerana lebih menguntungkan daripada mencetak koin-koin riyal perak. Idea wang kertas diambil dari usaha SAMA atas penerbitan wang kertas resit yang berjalan dalam percubaan (trial) pada musim haji sepanjang tahun 1953-1957. Dengan menerbitkan Haj Pilgrim Receipt dalam satuan riyal perak, SAMA mulai menarik semua jenis koin emas dan perak yang beredar di Haramain. Para jamaah haji dari luar negera pun diwajibkan menukarkan koin emas perak yang mereka bawa.



Lihat apa yang ditulis dibawah ... THE SAUDI ARABIAN MONETARY AGENCY HOLDS IN ITS VAULT TEN RIYAL AT THE DISPOSAL OF THE BEARER OF THIS FULLY NEGIOTABLE RECIEPT ....


Setelah populer, kupon haji itu pun kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Oktober 1963 dan akhirya tanggal 20 Mac 1964, diganti dengan wang kertas riyal.


10 Riyal 1968 – Tiada lagi sandaran Perak.


Masalahnya sejak saat itu, ONH atau BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) wajib dibayar dalam wang kertas dolar AS, bukan dengan wang kertas riyal! Sebab Kerajaan Saudi Arabia telah menyepakati pula berlakunya perjanjian Bretton Wood (1944), yang menyatakan bahwa dolar AS adalah satu-satunya mata wang yang laku untuk transaksi internasional. Segala transaksi dengan koin dinar Hashimi dan riyal perak (1 riyal = 4 dirham), termasuk koin real Maria Theresa di batalkan oleh negara. Maka umat Islam sedunia berduka atas hilangnya mata uang syariah dinar dan dirham.


Genaplah sudah makna hadis dengan maksud berikut: "Tak seorang pun manusia yang tidak memakan riba" yang diriwayatkan oleh Abu Daud, semoga Allah merahmatinya. Dinar dan Dirham dihapuskan sampai dua kali, pertama 1914 oleh Sultan-sultan boneka sisa Daulah Utsmaniah(Turki), dan keduanya pada tahun 1964 oleh KSA tersebut di atas. Tapi para ulama belum dapat mengambil kesimpulan dari terbitnya wang kertas riyal ini, tentang status halal-haramnya wang kertas. Sampai, akhirnya, diterbitkan fatwa tentang wang kertas, pada tahun 1984, yang menyatakan bahwa wang kertas adalah halal.


Lahirlah Fatwa : "Berkenaan hukum wang kertas fiat : Ia adalah matawang pada hukumnya disebabkan padanya terdapat sifat nilai harga yang lengkap, dan oleh itu semua hukum hakam yang ada pada emas dan perak adalah jatuh kepada wang kertas fiat seperti hukum berkaitan riba, kewajiban zakat, jual beli secara salam, dan seluruh hukum emas dan perak. (qararat wa tawsiat, Majma Al-Fiqh Al-Islami, hlm 40)
Begitulah, sejarah Islam yang dapat kita ketahui, fatwa Saudi Arabia yang menghalalkan wang kertas, satu-satunya fatwa resmi dari suatu pemerintahan ("Islam") di dunia ini. Tetapi, kisah ringkas sejarah ekonomi politik Saudi Arabia sebagaimana diuraikan di atas, kiranya cukup menjelaskan mengapa Saudi Arabia menggunakan riyal kertas, dan bukan Dinar emas dan Dirham perak.


Sunday, December 25, 2011

Shaykh Umar Ibrahim Vadillo Dari Sepanyol 2011

Kehadiran kembali seorang Mursyid di Nusantara, yang datang dari Andalusia, melalui Afrika Selatan, telah membawa cahaya kembali ke wilayah ini. -

oleh Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara , Oktober 2011:

Nama Shaykh Umar Ibrahim Vadillo mulai dikenal luas di dunia internasional pada awal 1990an. Ini dimulai ketika ia, sebagai pemuda berusia 28 tahun, mencetak kembali koin Dinar emas dan Dirham perak di Granada, Spanyol, pada 1992. Tindakan ini ia lakukan sebagai konsekuensi dari terbitnya Fatwa Haramnya Uang Kertas sebagai Alat Tukar yang ia terbitkan setahun sebelumnya, 1991. Fatwa itu sendiri ia terbitkan sesudah beberapa tahun mempelajari secara mendalam persoalan muamalat dan riba dalam syariat Islam.

Mengharamkan uang kertas, dan kemudian mencetak kembali koin emas dan koin perak? Bagi umumnya orang tindakan pemuda Umar ini, tentu saja, terlihat sebagai sebuah keasingan. Mengapa ia melakukannya? Paling tidak ada dua alasan mendasar.

Mengapa Uang Kertas Haram
Pertama, secara ekonomi politik sistem uang kertas adalah mekanisme perompakan yang dilakukan oleh segelintir orang atas semua orang lain yang menggunakan uang kertas tersebut. Namun demikian hampir tidak ada yang melihatnya karena perompakan ini dilakukan secara sistematis dan dilegalisir melalui undang-undang mata uang nasional atau Legal Tender Law. Makna dari sistem ini adalah pemberian hak monopoli kepada satu pihak, dalam hal ini Bank Sentral, untuk menerbitkan dan mengedarkan uang kertas, senilai dan sebanyak yang mereka suka. Seluruh warga negara kemudian diwajibkan untuk hanya menggunakan uang kertas bersangkutan sebagai alat tukar sehari-hari.

Akibat dari pencetakan uang kertas yang terus-menerus, dengan tanpa jaminan komoditas apa pun sebagaimana pada awal uang kertas itu diciptakan (uang kertas didukung oleh emas atau perak), adalah inflasi yang terus-menerus. Dalam kehidupan sehari-hari yang dirasakan oleh masyarakat adalah harga barang dan jasa yang terus-menerus naik. Tetapi, nilai tukar barang-barang sebenarnya tidaklah berubah, yang berubah adalah nilai tukar mata uang kertasnya yang terus-menerus merosot karena pencetakan dan perputarannya yang tak terbatas. Pencetakan dan peredaran uang kertas itu sendiri saat ini sepenuhnya berbasiskan kepada utang: uang kertas itu sendiri adalah 'uang kredit'. Inflasi, tidak lain, adalah pemajakan paksa yang dilakukan oleh perbankan kepada seluruh penduduk.

Bukan cuma itu. Sistem uang kertas, dengan motor penggeraknya sistem perbankan, karena tidak memiliki dukungan asset apa pun, di satu titik akan meledak. Hal ini secara matematis dapat diperhitungkan, hanya saat kehancurannya saja yang tidak dapat dipastikan. Tetapi, secara empiris, kita telah berkali-kali mengalaminya, yang belakangan disebut-sebut sebagai Krisis Moneter. Setiap kali Krisis Moneter terjadi, semakin besar dampaknya, sampai nanti tiba krisis lain, mungkin yang terakhir, yang meruntuhkan semuanya, hingga situasi tidak tertolong lagi.

Kedua, secara legal, dari sudut pandang Hukum Islam, sistem uang kertas tidak lain adalah sistem riba. Karena nilainya hanyalah sebesar nilai intrinsik kertasnya, yang tentu saja tak seberapa, dan penggunaannya yang dipaksakan, uang kertas melanggar beberapa rukun dan syarat dasar perdagangan. Pertama-tama Allah, subhanahu wa ta'ala, menyatakan bahwa dasar pertama perdagangan adalah suka rela, dan itu termasuk dalam pemilihan alat tukar. Dalam pertukaran suka rela ini barang yang dipertukarkan haruslah setara dengan setara. Artinya baik barang yang diserahkan maupun alat tukar yang digunakan harus memiliki nilai intrinsik. Syarat ketiga sahnya perdagangan adalah transaksi harus dilakukan secara kontan. Baik barang maupun alat tukarnya harus diserahterimakan pada saat yang bersamaan, tidak boleh salah satunya ditangguhkan.

Substansi uang kertas, sebagaimana sebelumnya telah dijelaskan secara ringkas, menjadikannya tidak dapat memenuhi ketiga syarat jual beli tersebut. Uang kertas, sebagai alat tukar, tidak bersifat suka rela, tidak memiliki kesetaraan nilai dengan barang yang dipertukarkan, dan tidak memberikan pembayaran tunai. Dengan kata lain, secara ringkas, uang kertas adalah riba. Dan di dalamnya terkandung sekaligus dua jenis riba, yaitu riba al fadl, yakni riba yang timbul akibat penambahan nilai yang tidak dibolehkan (dalam hal ini direfleksikan sebagai nilai nominal uang kertas) dan riba an nasi'ah, yakni riba yang timbul akibat penangguhan pembayaran yang dilarang (karena uang kertas adalah nota utang atas sejumlah harta tertentu, yang saat ini utang itu pun bahkan tidak lagi diakui oleh penerbitnya).

Sebelum Shaykh Umar menerbitkan fatwa haramnya uang kertas dan mencetak kembali dinar dan dirham sebagai konsekuensinya, sejak dua dekade sebelumnya, Shaykh Dr Abdalqadir as-Sufi, pembimbing Shaykh Umar, telah menyampaikan kepada dunia kritiknya atas sistem uang kertas yang tidak adil dan rapuh ini. Tapi kritik itu hanya sampai pada sedikit orang dan dari yang sedikit itu lebih jarang lagi yang memberi sambutan dengan baik. Di banyak kalangan dan tempat kritik ini bahkan sangat tidak populer. Sampai terjadilah Krisis Moneter yang melanda Asia pada 1997-1998 lalu. Satu di antara sedikit tokoh yang kemudian mendengarkan saran solusi atas persoalan mendasar sistem finansial modern ini adalah Perdana Menteri Malaysia saat itu, Dr Mahathir Mohammad.

Momentum demi Momentum
Sekitar sepuluh tahun kemudian, krisis moneter sejenis kembali terjadi, kali ini di jantungnya sendiri yaitu di AS dan Eropa. Dimulai pada akhir 2008, dengan persoalan gagal bayar pada kredit perumahan di AS, yang diikuti dengan kebangkrutan beberapa perusahaan finansial, seperti Lehman Brothers, dunia terus dibayangi bencana keuangan global. Sampai lewat pertengahan 2010 krisis keuangan di Eropa, dengan pusatnya di Yunani dan mulai menular ke Spanyol dan Portugal, membuka mata dunia akan kebenaran segala yang disampaikan oleh Shaykh Abdalqadir sejak dua tiga dekade lalu. Pengenalan kembali Dinar dan Dirham pun semakin luas diterima.

Momentum lain adalah kebijakan Negeri Kelantan, Malaysia, sebagai institusi pemerintahan pertama di dunia yang mengadopsi Dinar dan Dirham sebagai mata uang syariah. Negeri Kelantan secara resmi mendirikan institusi khusus untuk ini, yaitu Kelantan Golden Trade (KGT) Sdn. Bhd. YAB Dato Nik Abdul Aziz bib Nik Mat, Menteri Besar Kelantan, didampingi oleh Menteri Keuangan Kelantan, Datuk Husam Musa, meresmikan peluncuran Dinar Dirham Kelantan, 2 Ramadhan 1431 H lalu. Peresmian mata uang syariah ini ditandai dengan penerapan Dinar dan Dirham secara luas: untuk pembayaran zakat, transaksi jual beli, dan pembayaran gaji (mulai saat ini 25% gaji pegawai negeri Kelantan akan dibayarkan dalam Dinar emas). Pada tahap awal ini di Kota Bharu (ibu kota Kelantan), khususnya di Pasar Besar Siti Khadija, seribu pedagang telah menerima Dinar dan Dirham. Di belakang gerakan Negeri Kelantan itu pun, tidak lain adalah Shaykh Umar Vadillo, yang sejak 2009 menjabat sebagai CEO KGT.

Untuk memastikan bahwa ekonomi berbasis Dinar dan Dirham dapat berjalan secara universal, Shaykh Umar juga telah memikirkan sebuah mekanisme pengaturan. Untuk itu, sejak awal pencetakan prototipe Dinar dan Dirham, 1992, ia menginisiasi World Islamic Trading Organization (WITO) dan, belakangan, World Islamic Mint (WIM). Produk pertama yang dikeluarkan oleh WITO adalah standar teknis koin, yang didasarkan kepada standar yang dibuat oleh Khalifah Umar ibn Khattab, serta rancang muka koin-koin Dinar Dirham, yang saat ini dikenal sebagai Seri Haji, yaitu koin Dinar bergambar masjid Nabawi dan koin Dirham bergambar Masjidil Haram.

Di luar itu berbagai corak koin Dinar dan Dirham mulai muncul, seperti Seri Nusantara, sebagaimana yang diedarkan oleh WIN (Wakala Induk Nusantara), Indonesia, dengan Dinar bergambar Masjid Demak dan Dirham bergambar Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon. Terakhir adalah Dinar dan Dirham Kelantan tersebut di atas, dengan gambar simbol Negeri Kelantan, yakni dua ekor kijang, dengan mahkota serta senjata tradisional Kelantan. Meski belum ada sebutan resminya Dinar dan Dirham Kelantan ini dapat digolongkan sebagai Seri Pemerintah.

Maka, standarisasi teknis koin saja menjadi tak mencukupi. Ada persoalan otorisasi pihak pencetak dan pengedar koin. Penerapan Dinar dan Dirham secara internasional juga menimbulkan masalah standarisasi nilai tukar. Ini semua menjadi agenda World Islamic Mint (WIM) yang saat ini dipimpin oleh Bapak Abu Bakr Rieger, dari Jerman. Sebagai lembaga pengatur, WIM dilengkapi dengan Shariah Counselor, yang berperan mengawasi soal-soal hukum, yang saat ini dijabat oleh seorang imam dari Masjid Granada, Spanyol, yakni Haji Abdalhasib Casteniera.

Ringkasnya berbagai hal di atas menggambarkan apa yang dipikirkan dan dikerjakan oleh Shaykh Umar Vadillo adalah sebuah kelengkapan pengetahuan dan amal, konsep dan praksis. Dia adalah sosok seorang mujahid yang bukan saja tidak mengenal lelah, tetapi memiliki visi akan kemenangan Islam. Sebab, keyakinannya sepenuhnya dilandasi oleh sikap penyerahan diri secara total hanya kepada Allah, subhanahu wa ta'ala, kepada kalimat dzikir la haula wala quwwata illa billah, sebagaimana setiap kali ia sitir baik secara lisan maupun tulisan. Ia tidak mengenal adagium: Dawud melawan Jalut. Adagiumnya adalah ketika Kebenaran Datang, Kebatilan Musnah. Selama lebih dari dua puluh tahun terakhir ini Shaykh Umar tidak pernah berhenti dan diam. Dia terus bergerak, dalam berbagai bentuk tindakan, menulis, mengajar, mengerjakan, sambil menularkan semua itu kepada setiap orang. Ia tidak pernah membeda-bedakan orang, ketika berbicara dengan seseorang di pinggir jalan atau seorang kepala negara: ia melakukannya dengan isi dan bobot pesan yang sama. Dan dengan visi yang juga sama: kemenangan Islam, kembalinya 'amal Ahlul Madinah.

Karya Tulis dan Buku
Selain Dinar dan Dirham yang kini mulai diterapkan di mana-mana Shaykh Umar menghadirkan sejumlah pengetahuan kepada kita melalui berbagai karya tulisnya, baik berupa buku, risalah, artikel, maupun naskah pidato. Dua buku yang ia tulis pada awal 1990an adalah The End of Economics (1991), kemudian The Return of Islamic Gold Dinar (1996), dua judul buku yang merefleksikan perjalanan perjuangannya. Pada tahun 2003 sebuah bukunya yang lain, setebal hampir 1000 halaman, The Esoteric Deviation in Islam, diterbitkan. Buku ini membedah penyakit yang diderita oleh sebagian kaum muslimin sendiri, yang dalam kurun lebih dari 150 tahun belakangan ini, mengambil jalan yang keliru, yakni mengasimilasikan Islam kedalam kapitalisme.

Dalam buku ini Shaykh Umar mengatakan asimilasi adalah 'upaya [kaum] kapitalis untuk membawa Islam ke dalam pandangan dunia (world view) mereka,' yang dengan jelas dapat dilihat khususnya pada proses 'islamisasi segala segi kehidupan'. Dua pintu pertamanya adalah ide tentang politik (negara) Islam dan ekonomi Islam. Kata 'Islam' dipakai sekadar menjadi 'siasat pemasaran' yang ditempelkan di belakang berbagai pranata kapitalistik tersebut: partai Islam, negara Islam, parlemen Islam, demokrasi Islam, bank Islam, pasar saham Islam, kartu kredit Islam, reksadana Islam, MLM (Multi Level Marketing) Islam, dan seterusnya. Akibat dari islamisasi kapitalisme ini adalah semakin tidak dikenalinya model kedidupan sosial ekonomi Islam sendiri, yakni muamalat.

Kini dua dekade sejak tindakan pertama Shaykh Umar, mencetak prototipe Dinar dan Dirham (1992) itu, umat Islam mulai melihat pohon yang telah bersemai, meski buahnya belum sepenuhnya bisa dipetik. Bibit-bibit kembalinya pilar-pilar muamalat, Dinar dan Dirham, pasar-pasar terbuka, pedagang, dan kontrak-kontrak Islam, mulai bersemi di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Kesadaran umat Islam untuk kembali kepada model yang lebih genuine, yakni muamalat, dan bukan kapitalisme Islam, dan menuju kepada kemenangan atas sistem riba yang menindas, dan bukan tunduk di bawah ketiaknya, mulai hadir di seluruh dunia Islam.

Dengan itu Shaykh Umar terus bergerak. Dari Granada ke Istambul. Dari Istambul ke Rabat. Dari Rabat ke Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur terus ke Jakarta. Dari Jakarta ke Kelantan. Dari Kelantan ia pergi ke Aceh. Dari Aceh ia akan ke Kesultanan Sulu, Filipina Selatan. Dari Sulu, entah bumi mana lagi yang Allah bukakan pintu untuknya, yang pasti akan ia datangi dengan riang hati. Dengan itu Shaykh Umar juga terus sambil menulis, mengajar, mentransmisikan pengetahuan dan keteladanan 'amal kepada setiap muslim yang ia temui. Pada awal tahun 2006, risalah bahan kuliahnya di Dallas College, Cape Town, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans; bersama penulis lain yaitu Shaykh Abdalhaqq Bewley (Piramedia, 2006).

Tentang Kefaqihannya
Menjelang akhir 2006 Shaykh Umar kembali mengeluarkan sebuah fatwa penting, Fatwa on Banking and the Use of Interest Received on Bank Deposits (Fatwa tentang Perbankan dan Penggunaan Bunga Deposito). Ini adalah sebuah dokumen fatwa setebal 66 halaman ia tulis dengan cukup komprehensif. Fatwa ini memberikan panduan yang jelas atas kebingungan umat Islam dalam kenyataan sehari-hari yang masih tidak lepas dari urusan dengan sistem riba, yakni sistem perbankan. Terakhir, sebagai bagian dari yang ia lakukan di Kelantan, pertengahan 2010, Shaykh Umar kembali menulis sebuah fatwa, yakni tentang zakat, berjudul Fatwa on the Payment of Zakat: Using Dinar and Dirham the Issue of Ayn and Dayn in Zakat.

Fatwa tentang zakat ini sangatlah penting, sebab pengetahuan umat Islam tentang rukun zakat secara benar praktis telah hilang, akibat proses politik yang berlangsung dalam 100 tahun terakhir ini. Hilangnya Dinar dan Dirham, bersamaan dengan runtuhnya daulah Islam terakhir di bawah Daulah Utsmani, sejak 1924, telah mengubah praktek pengamalan zakat menjadi sedekah biasa. Dua rukun zakat yang roboh saat ini adalah keharusan penarikan zakat oleh sebuah otoritas Islam dan pembayarannya yang hanya bisa dilakukan dengan ayn (komoditas nyata), dan bukan dengan dayn (nota utang, seperti uang kertas). Fatwa ini mendudukkan kembali dua pilar tersebut.

Fatwa tentang zakat ini, sebagaimana dua fatwa lain yang ia terbitkan, yakni Fatwa tentang Pelarangan Uang Kertas sebagai Alat Tukar (1991) dan Fatwa tentang Perbankan (2006), sebagaimana disebut di atas, sekaligus menunjukkan kefaqihan Shaykh Umar Vadillo. Dalam sambutan yang diberikan pada saat peluncuran Dinar Kelantan, 2 Ramadhan 1431 H lalu, Shaykh Abdalqadir menyebutkan bahwa Shaykh Umar Vadillo adalah 'faqih nomer satu dalam masalah finansial' yang dimiliki dunia Islam saat ini.

Sebagai seorang faqih Shaykh Umar telah mampu 'membacakan' kembali, dan dengan itu memberikan pemahaman, bagi umat Islam dunia, pengetahuan yang telah dilupakan dan terkubur selama seratus tahun terakhir atas satu bagian yang sangat penting dari kitab Al Muwatta-nya Imam Malik, semoga Allah merahmatinya, yakni muamalat. Dalam salah satu tulisannya yang meskipun cukup ringkas, yaitu Ketetapan Hukum Uang Kertas, kita dapat menilai kefaqihan Shaykh Umar ini.

Menjelang akhir 2011 penerbit Delokomotif, Jogyakarta, tengah menyiapkan kumulan tulisannya menjadi sebuah buku, berjudul Jihad Melawan Kapitalisme. Berbeda dari buku-buku yang telah disebutkan sebelumnya, buku Jihad Melawan Kapitalisme ini tidak berasal dari suatu naskah yang memang disiapkan sebagai sebuah buku, tetapi berasal dari beberapa risalah, artikel, atau naskah pidato Shaykh Umar yang terpisah-pisah. Dua di antaranya adalah makalah yang ia sampaikan pada Konferensi Pemuda di Cape Town, 2005 (Rekonstruksi Muamalat Islam di Tengah Krisis Kapitalisme), dan Konferensi Internasional Fiqih, juga di Cape Town, 2008 (Prioritas Fiqih dan Muamalat). Selebihnya adalah tulisan yang dipresentasikan di berbagai kesempatan. Satu tulisan, yakni Jihad Melawan Kapitalisme, berasal dari wawancara Shaykh Umar dengan majalah Gontor, pada saat kunjungannya ke Jakarta, 2007 lalu.

Meski semula terpisah-pisah, himpunan tulisan ini secara keseluruhan ketika dibukukan memperlihatkan alur dan kerangka pemikiran yang solid dan sistematis. Semuanya menggambarkan rekonstruksi muamalat sebagai jalan keluar dari kungkungan kapitalisme, atau riba, yang menindas saat ini. Tetapi, lebih dari itu, buku ini mengalirkan semangat dan enerji perjuangan yang sangat menggugah.

Cahaya Kembali Bersinar
Pada saat Moussem 2011 di Kuala Lumpur, Haji Umar Ibrahim Vadillo, telah dikukuhkan sebagai seorang shaykh. Ini adalah hadiah besar bagi umat Islam di Nusantara, yang sejak keruntuhan Daulah Utsmani, yang diikuti dengan lenyapnya satu per satu daulah Islam di Nusantara, kehilangan panduan. Kehadiran kembali seorang Mursyid di Nusantara, yang datang dari Andalusia, melalui Afrika Selatan, telah membawa cahaya itu kembali ke wilayah ini. Seperti halnya tiga abad lalu cahaya itu datang dari Nusantara ke ujung selatan benua Afrika, juga melalui para Mursyid.

'Tugas utama Muslim di zaman ini adalah memerangi Riba. Caranya adalah dengan menegakkan kembali muamalat, perdagangan yang halal, penggunaan alat tukar Dinar emas dan Dirham perak, mendirikan pasar-pasar, mengamalkan kembali kontrak-kontrak bisnis menuruti sunnah, yaitu qirad dan shirkat,' demikian, antara lain, wejangan Shaykh Umar Ibrahim Vadillo kepada murid-muridnya.

Riba adalah kezaliman terbesar zaman ini. Ia juga menegaskan bahwa semua upaya ini hanyalah demi kecintaan kita kepada Allah Ta'ala dan Rasulullah salallahualaihi wasalam. Kalau kalian mengikuti saya, muamalat akan kembali tegak, ujarnya lagi.

Peristiwa pengukuhan Shaykh Umar Vadillo, orang yang pertama kali mencetak kembali Dinar emas dan Dirham perak di kurun mutakhir ini, mengikuti jejak Khalifah Umar ibn Khattab yang mengukuhkan standarnya, di sebuah masjid bernama Masjid Umar ibn Khattab, di Kuala Lumpur, adalah hadiah besar bagi umat Islam Nusantara. Semoga Allah Ta'ala meninggikan ilmu dan maqam Shaykh Umar Vadillo. Semoga Allah Ta'ala memberikan kita semua kesempatan untuk terlibat, dan menikmati, tegaknya muamalat di bumi Nusantara.

(Notakaki: alhamdulillah, pada 25 Dis.2011 sekumpulan pelajar Master Izi dan Dr.Anqaravi dari Institut Dailin Nur dapat bertemu dan hadir dalam majlis muzakarah dengan sh.Umar disuatu apartmen tak jauh dari banjaran titiwangsa, kuala lumpur. Catatan travelog akan menyusul)

Tuesday, December 20, 2011

When you meet a master teacher


When two blades cross points,
There’s no need to withdraw.

The master swordsman
Is like the lotus blooming in the fire.

Such a man has in and of himself
A heaven soaring spirit.

- Tung Shan

Monday, December 19, 2011

The Derivatives of Money Collapse

by Jack Towne

There are two kinds of derivatives

Over-the-counter (OTC, or direct buyer-to-seller) derivatives are contracts that are traded and privately negotiated between two parties. All OTC derivatives are unregulated, so the counterparty risk is the key factor: basically, when the contract terminates will one party stay solvent and reimburse the other without going bankrupt? According to the BIS, the total outstanding notional amount is $684 trillion as of June 2008. Of this total notional amount, 67% are interest rate contracts, 8% are credit default swaps (CDS), 9% are foreign currency exchange contracts, 2% are commodity contracts, 1% are equity contracts, and 13% are other assorted types.

Exchange-traded derivatives (ETD) are those derivatives products that are traded on regulated exchanges or markets. The exchange acts as a public intermediary for all transactions, and takes on the counterparty risk for a fee. As such, the exchanges pay close attention to all party's solvency, so party defaults are less likely than on OTC derivatives. According to the BIS (pg 108/116), the total outstanding notional amount is $77 trillion (as of June 2008.)

And now the reason for Buffet's concern becomes clear. As the world's reserve currency, the majority of all derivatives are transacted in dollars. And these trillions of dollars of worthless fiat electrons truly dwarf the rest of the world. I can show you and I bet I do not even need a graph!!

  • ~8 Trillion Total Monetary Supply of US Dollars, cash, coin, and banking accounts <$100K (Federal Reserve M2)
  • 15 Trillion Total US 2008 GDP, or the market value of all goods and services by all American parties
  • 50 Trillion Total world GDP in 2008 per US Global
  • 75 Trillion Total value of the world's Real Estate per US Global
  • 77 Trillion Total nominal value of world's ETD derivatives per BIS
  • 100 Trillion Total value of the world's stock AND bond markets per US Global
  • 684 Trillion Total nominal value of world's OTC derivatives per BIS

[See slides 4-9 of this August 2008 presentation from US Global Investors]

So the key is that due to their massive size and inherent risk, derivatives (primarily OTC), have the potential to deliver truly staggering losses that could ripple through the rest of the financial system like a bullet train with no brakes down the slope of Mount Everest.

I think the basic trouble behind modern-day derivatives can be summed up rather succinctly. Many of today's derivatives are wagering on paper "assets" that have no intrinsic value. To wager on freely traded tangibles like corn or wheat on a commodities exchange with counterparty risk protection is one thing. To wager on paper "assets" like interest rates of a GE bond, a Fannie Mae mortgage, or the fiat Australian dollar without counterparty protection from fraudulent balance sheets, themselves consisting of fiat electrons, is pure madness.

Why and how did the mess get this big? Super briefly, Alan Greenspan of the FED decided to not regulate OTC derivatives 10 years ago. Following this decision, they mushroomed. My personal root cause analysis is that many of the traders doing the deals have no idea what makes money money, nor did they 100% understand what they were transacting, and were lured by the "miracle" of leverage and the siren song of "risk-free" profits, a complete misnomer.

__________________________

DEflation and your money gone

Deflation

After the inflation bubble, they pull in the lending and funds to create the collapse, of course under the right cycle to get maximum effect. The spiral starts again and as fear sets in more money is lost.

Here’s how it’s done: say Borrower A bought a house for $500,000 - at the top of the inflation boom (maximum printing of money) - and in the recession/depression, the house value falls 50% to $250,000; Borrower A desperately puts the house on the market and the banks lend $250,000 to the new buyer, Borrower B at, say, 10% interest rates. Borrower A has a $250,000 loss and will also have to pay late fees, the loss and the interest, making more money lost than the value of the original loan. If Borrower B goes broke then the same thing happens. The more that go broke the more money the bank makes, which incidentally explains why the banks continue to pay their executives huge bonuses during a recession – they profit from your misfortune, like the true parasites they are!

People paying interest on a mortgage may have an annual interest rate of, say, 8% and businesses have loans at 10%. Why do home borrowers have a cheaper rate? Well they don’t. ‘Per annum’ means once a year, but house buyers are paying monthly in advance, which is effective, a higher rate. When the banks receive 1/12th of the annual interest paid in the 12th month, then 1/12th in the 11 month and so on, the interest gives the banks more deposits to lend out to new borrowers. This is how banks make so much money out of nothing: and don’t forget all the fees and charges as well. Banks are only good for one thing, depositing money and earning interest, so they can lend to people who want debt.

Next is the first home buyer, to become the first home seller. They have borrowed with a 95% loan which has to be paid back with after-tax (nett) money, and the loan has been approved on the basis of two incomes, to get the maximum loan. The only people making money out of this are of course the banks, the developers, the builders - and the government through stamp duty and taxes. With increases in taxes, new taxes like the ETS (extra tax scheme), the home buyer will have more trouble paying off his loan, as all these increases are taken from his nett money - after he has already paid his income tax. The interest isn’t a tax deduction either. Of course with the increase in taxes, unemployment will go up, and many businesses will move to China and India - where you don’t have this nonsense yet.

The bank knows that there will always be a large number of bad debts - because the system can’t work. To recoup the loss, they just add a risk margin to those that can pay, and widen the spread between the depositor and the borrower. They can’t and won’t lose, but you can, if you have debt.

G-20

What our politicians are doing is inventing a way to control the world under a new world order, world government, world currency, etc, and there will be no better time to do this than in the next great depression between 2016 – 2020.

The governments engineer this by working hand in glove with the banks, and here’s how: the world stimulus (the printing of money) has only added more cash for the banks to have on deposit, no new lending has happened - in fact people now have to have larger deposits and better balance sheets to get loans, which is the tightening of credit. Now if the G-20 decides not give more credit, then debts will climb on existing loans on real-estate, stock market, cars, credit cards etc. The banks (= government) will then take your land for free because the debt will be larger than the asset value, as your assets keep falling in value. Once governments take all the land, they will become the new landlord, you will be a tenant, and we will be back to having much more socialistic countries as capitalism dissolves. People will be happy to have just food and shelter, then just give them a uniform (people like to belong) – just as Hitler provided to the German people in the 1930’s after Germany’s hyper-inflation in 1923. Then we will have a new dictatorship, a new Hitler, a new civil war.

Sunday, December 18, 2011

THE MATRIX OF MONEY


By D.K.Burton

The history of debt

The idea of debt stems from the Babylonian economic system of more than 4000 years ago, around 2000 BC. Instead of coins, the Babylonians used clay tablets representing the promise to pay. Money was borrowed when it was needed to survive, as opposed to today’s tendency for people to borrow for “wants”. A need is not a mobile phone, MP3 Player or a Porsche-these are all “wants”. People borrow to show off to people they don’t know or like, plus what they borrow for always falls in value (the above); when combined with the cost of money, this means big losses!

The creation of money

Money is created out of nothing. Over the centuries coins and bullion were used. They became too awkward to deal with, so the people who stored them (smiths and smelters) issued paper receipts instead (now called IOUs).

Only 10 percent of the value of what is stored was being used at any one time, so they began to lend more than they had, and the banking system was formed. Paper money, called “fiat currency” has been used now for hundreds of years. History shows that this system is cyclic and has always ended badly, with a complete debasement of the value of the currency, similar to what’s happening to the $US now. Banks have been lending up to 100% of the value on some assets. This is doomed to fail. There is no real money; it’s only a computer entry from one account to another. If everyone went to the banks to draw out their cash – what’s known as a run - the banks would fail. Of course, only the people with no debt and term deposits can draw out all the money, the rest can’t, which leaves 98% stuck, and 2% with the cash.

The Matrix of money works like this; the government prints a $100 note for 6 cents, sells it to the bank for say 4%, which is $4.00 on $100. Now 6 cents into a $4 is 6,666% return. Then the banks lend it out to say a credit card at 19% or $19 on $100. This is 31,666% return on 6 cents. It gets worst, as the banks have been lending out around the world, 100, 200, who knows, maybe 500 times the $1 on deposit. If you lend $100 out, say, 100 times it equals $10,000.00, using say 10% interest rates that’s $1000.00 per/year. Now 6 cents into $1000 is a 1,666,666% return. Now if it’s 500 times, rather than 100 times, then it is 8.3 million percent. Of course, they aren’t printing fresh money each year to replace that $100, so say it lasts 10 year? 6 cents into $10,000 (10 years of interest at 10 percent) is 16 million percent return. Now, if its 19% like on credit cards, this means a 31 million percent return over 10 years.

For this system to work, the bank relies on you staying in debt and paying interest. When people don’t want to borrow, or pull their money out of the bank - like in the great depression - the system will collapse; or if everyone wanted to pay off their debt at the same time, it would collapse, and this is what is going to happen because the mathematics of money just can’t work - and the next great depression will prove this to be correct. Not everyone can pay off their debts because there is more debt than paper money in circulation - only 2% can.

Do you want to be in the 2% or 98%? It’s your call.

If you are in the 98%, it will be the banks’ call. They control your future, not you. Remember, if you are in the 2%, the other 98% are after your money. Go to this link to Money as Debt (48 minutes) http://video.google.com/videoplay?docid=-2550156453790090544#docid=-21878850.

Money is only created for people to work for wages. Look how much work is done by the masses for 6 cents. Look how much debt you can get them into for 6 cents. What a brilliant system has been created. Look how you are controlled!!

Don’t forget also that governments and big business (especially the banks) prefer a placated docile public – distracted and struggling, and without the energy and opportunity to look too closely at what the government / bank alliance is up to.

Wednesday, December 7, 2011

Dehumanize Political Leaders Today

From Pekin to Paris, from Potsdam to Paddington, from Pyong Yang to Pretoria, the human species are enslaved by a common factor – not that these places begin with the letter ‘P’ – but that the common factor does – Politicians. The world’s masses have submitted themselves to the doomed procedure of being governed from below – placing the lowest element in urban society in a position they have been prepared for neither in upbringing nor in education.

In order to get a slight leverage over the masses, the sub-epileptic dwarf President of France denounced his ‘fellow-citizens’ as racaille – scum. It is the politician’s own self-definition by which WE must define THEM. The scum of the world – the political class.

Modern society came into being with two defining events: the abolition of the family and the abolition of a two-tiered community of men and women. The act which determined the end of the natural era – personal governance over the community of men and women – was the beheading of King Louis XVI as well as his wife, not as Queen but as woman, Marie Antoinette. The vicious misogynism of the Revolutionaries from the ‘chaste’ ideologues Robespierre and St Just to the whoring Danton effectively ended the role of women by the redefinition of men and women as ‘citizens’ – once equal, of course, they were no longer two but one. The woman who proposed ‘The Rights of Women’ was promptly guillotined and her fellow feminist locked for life in an insane asylum. It was a woman, Charlotte Corday, who stabbed the most notorious Revolutionary, Marat, in his bath.

The abolition of the family followed logically. It was the base unit of the natural society and as such represented the private (natural) bank. Nature’s work was over. The Golden Louis of the monarchic (personal rule) epoch was over. The Paper Assignat was the new (mathematical coding) instrument of wealth. The christian priests were de-structured as guardians of natural wealth and the bankers took on the new secular priesthood. Smashing the validity of the family unit demanded a radical re-alignment of humanity. As the bankers took over wealth as their domain they had to substitute another wealth-system to take its place. Financial freedom (from debt) was replaced with sexual freedom, and for it to be absolute it had to remain the free choice of the citizen. It was no longer man and woman, it could be man and man or woman and woman. Extending this position logically to child as partner failed to convince the mass of humans but guaranteed that the option would be taken up in significant numbers assuring a mass criminal market of child abuse.

In order to govern the humans it was essential and logical that the ruling class should be devoid of the old nature-based system. Despite the advances in the new biological sciences, that is DNA evidence, governance could not be genetically inherited. Equally a man could not govern – he might seize power and ‘abolish’ the Revolution’s values. Nor a woman govern – she might restore heredity and install her son. In order to insure the continuity of capitalist democracy the governing class had to be pure citizens without future power inheritance. Wealth in the moneyed elite would be maintained by generational legitimacy (the Rothschilds, the March, the Kuhn Loebs, the Rockefellers, the Oppenheims, the Lazard and so on), that power in turn would be permanent by assuring short-term turn over in the political elite.

So it was that just as the financiers installed themselves as a hereditary elite on a dynastic model, the politicians to function at all as taking on the appearance of governance linked to power slowly had to devolve from having been men and women into a new third force of power like the eunuchs of China, only not de-sexed by crude surgery but rather by a psychic de-linking of their maleness or femaleness.

In the process of granting sexual freedom to finish off the family, by a sophisticated set of psychological techniques, a new political being was created. Freud, Rank, James’s pragmatism, Reich and the later neuro-linguistic programming all set out the fundamental methods to create this new creature. Based on the primal separation of two terms, sex and gender, it had become easy to design a new non-male who was not homosexual and by the same technique a new non-woman. A political leader, man or woman, yet in reality a psychic eunuch.

As a ‘man’ he would be by this method a natural coward, insured against being military, yet able to order the military operation – while voided of shame at not himself fighting. Indifferent to the body-bags, the mounting statistic of the country’s dead. Inured to the weeping parents, the desolate children. Hand on heart he could watch the coffins off-loaded for burial, arrange the ribbons of the Memorial Wreath.

As a ‘woman’ she could talk ‘collateral damage’, threaten war, talk nuclear options, the bombing of cities. In place of male leaders she could confirm that she would not be moved. Torture is an option, rendition is a solution, security is, after all, a ‘woman’s’ natural concern.

Slowly this cancerous growth of pseudo-humans took over the mechanisms of political democracy.

In Britain – Blair, his eyes glazed, his discourse monitored, his emotions tuned to zero. Able to confront soldiers facing death on a daily basis, thanks to his zombie response to his programming master – without a tremor of concern let alone guilt.

Brown, near total blindness, happy as a boy to lay wreaths, praise ‘our boys’ and talk of ‘their sacrifice’, send them off by the thousands to an early grave. Never a night’s sleep lost, never a tear from the blind eyes.

France – Sarkozy, a tiny Hungarian forced to talk about national identity yet unable to address his citizens as did de Gaulle, “Francais! Francaise!” and merely mutter “mes chers compatriots”. Uneducated and unread, unable to speak the language – pride of the nation – faced with tricolour draped coffins back from Afghanistan easily able to declare the glory of the heroic dead. Unphased by the enraged young soldier who turned his back on him. Unblinking before the dismissed workers of a factory closed by his banker friends. Indifferent to those emotions once known to General and soldiers alike.

USA – Obama, ready with a speech for every crisis. A view on every issue. As the coffins of the new dead are off-loaded at a night-time delivery base he turns up and stands hand on heart (why – ah, because he cannot give a military salute!) to mark his recognition of their sacrifice – their useless, pointless sacrifice.

In Chile, in Finland, in Germany and, and, and in crucial political roles from President to Secretary of State, to Minister, the new ‘women’ parade themselves. They have been designed and groomed with remarkable precision. The cropped hair, of course, is mandatory!

In Germany – Merkel, on the very day she was appointed Chancellor she abandoned woman’s dress permanently. The German press call her husband “the Phantom of the Opera”. She now wears what is obligatory dress for this new species of humanity. It is called ‘a pant-suit’. It is not so much manly – as not womanly, as befits the role of the political ‘woman’.

In USA – Clinton, the Secretary of State, too, is in her pant-suit, a whole wardrobe of them. Chosen to declare and defend a nation’s position on vital issues – here was a woman who can still be seen on newscast TV at the time of her husband’s affaire with Lewinsky, standing in-shot with Clinton while he swears innocence. There she stands nodding confirmation of his lie, knowing it is a lie. A fit character to speak for America in its final state of collapse as a world power. In Pakistan she is to be seen at the tomb of Iqbal, hands in du’a supplication. It’s all part of the job – like nodding to Clinton’s lie.

The world-community (remember them?) now groan and begin to look to an end-game.

The ‘numbers’ money system has collapsed and so, inevitably, the political ‘democratic’ system has collapsed as well.

With the inescapable return to real-value commodity wealth will come the return of real-value men and women as governors. The god-less ideology of the atheists will yield to the god-worshipping practice of world Islam.


Arab Spring States Fall into Trap of Kuffar

Guess this : the actual date of essay written ?

=who is the author ?

=how his views proven correct ?

There is no such thing as breaking news. The media myth of atheist capitalism is that we live in a perpetual continuum. In that way we are distracted from the active doctrine of compound interest which dooms us to debtorship, one that is based on the passage of time and that time unmeasured by the anxiety of the debtors.

Events, equally, do not happen. They are immeasurable. The tsunami is meaningless, and without contours. There is in it the young couple drowned at their wedding, the baby saved floating on a tree trunk, and the recorded comment of the Head of the World Bank: “There’s a billion in this for us!”

When three dictatorships in North Africa implode almost simultaneously, and when the media talk drunkenly of an awakening to democracy, freedom and modernity it is time to stop. Stop and reject. The event has not happened, having no reality. However, there are the effects of events, which resonate with reality, and let us later reflect that ‘something happened’. The meaning always emerges later. Even then, the understanding does not emerge from the event, but from that setting which for us enframes it.

Rumi told us that when a King dies – an event – to the family it is tragedy and loss of status, while to the amnestied prisoner it is joy and a recovery of status.

What happened on the Muslim littoral of the Mediterranean? What may result from it?

The given, which we can confirm, is that the Muslim population of three countries all rose against dictatorship: Tunisia after 20 years, Egypt after 30 years, and Libya after 40 years.
This means that someone born 20 years ago in Tunisia, 30 years ago in Egypt and 40 years ago in Libya has lived without knowledge of Islam and under the State’s diktat that Islam is the enemy of society. Arab States without Islam – lifetimes lived inside the persecution of Islam. Their dictators all began their term with approval and acclaim by the masses. Since the State openly viewed Islam as an enemy – each had a programme of torture and execution of Muslim activists and scholars. This is not to suggest ‘Islam-ists’ and potential terrorists were the victims. On the contrary the assassinated scholars were proposing the simple Deen as understood by Ibn ‘Ashir, Ibn Abi Zayd al-Qayrawani and Ibn Juzayy.

The dictators did not fall fully indoctrinated against Islam out of a clear desert sky. They, in turn, were an effect. A result. The result of an infective miasma. As the viral destroyer survives, and indeed is, the zone of toxicity, so the Arab sickness saw from its swamps emerge the full fever inducing destroyer called atheist socialism. Out of the terrain emerged the socialist leader, Nasser. Behind his emergence lies the disaster of false doctrines in Egypt and after him came the modern propagators of a new religion, an anti-Islam, re-formed into mondialist capitalist tolerance, I mean Shaykh Qardawi and Shaykh Ghanouchi.
These two stand waiting for the dust to clear so that they can sign off, once and for all, the Arab peoples from the illumination, wisdom and duties of Islam itself. The Muslim littoral of the Mediterranean lies voided of knowledge, guidance and simple Adab. The modern Arab is without Islam and is losing the language of the Book which could rescue him.

What will he get from his so-called Revolution? It was not even a revolution in Egypt – it was a demo. They did not march. They did not storm the Palace. They did not kill the dictator. The dictator lodged in the Israel-protected corner of the country, leaving behind a known torturer and killer as Vice-President and the Army’s High Command of mummified zombies, still subsidised from the USA.

The people will, of course, be rid of the dictator, in his place will come a committee.

They will vote for representatives who will assure that they all have a bank account and a credit card. From the bankers’ viewpoint it is some kind of miracle. Overnight they have gained a few hundred million new debtors.

The ‘jasmine’, ‘rose’, ‘stinkweed’ revolution has raised up the whole Arab world to full slave-debtorship in global banking. Like Greece. Like Ireland. Only more endebted.

They will get an iPhone, an iPad, and a new almost incurable psychosis, that of becoming a slave of the new successful capitalist oligarchy.

In the meantime young Arabs should rush to their Kindle and acquire Umar Ibrahim Vadillo’s ‘The Esoteric Deviation in Islam’.

There, clearly, is the diagnosis by a doctor who knows. As for the cure and its therapies – this is in the hands of its doctors, the active Qadiriyya and Naqshabandiyya Shuyukh.

Monday, December 5, 2011

Malaysia Gold Coin Kijang Emas at RM200 Face Value ?

The Kijang Emas Gold Bullion Coins by Bank Negara Malaysia....

Malaysia is the 12th country in the world to issue its own gold bullion coin. The Kijang Emas now joins the ranks of other international gold bullion coins.

The design of the obverse of the Kijang Emas depicts a barking deer ("kijang") in its natural habitat in the Malaysian jungle. The reverse side features the hibiscus, the national flower of Malaysia.

Soalan 1 :

Kenapa 'nilai muka' /face value' RM200 koin kijang emas lebih rendah dari nilai pasaran mas semasa USD2,000/oz atau RM6,000 sekeping ?

Dimana nilai wang kertas sebenar berbanding emas ? Dianggarkan terdapat RM150.0 juta penyimpan akaun emas dengan menggunakan koin BNM ini yang dijalankan oleh Maybank Gold Savings Account....lebih 56% adalah penyimpan bukan muslim.... Dalam kes ini, gold fractional reserves juga diamalkan berciri ribawi juga....

Soalan 2 :

Kenapa Dinar 21k mas lebih berguna, praktikal dan bermanfaat dari segi hukum muamalat Islam berbanding koin emas BNM atau yang lain ? Koin emas 24k atau 0.999 amat lembut dan cepat rosak, terhakis bila dipegang/jatuh/terguris.

1 Troy ounce
Kijang Emas RM200

Face value: RM200
Gold Purity: 99.99%
Standard weight: 31.105g
Diameter: 37.00 mm

1/2 Troy ounces 1/4 Troy ounces
Kijang Emas RM100 Kijang Emas RM50

Satu Ringgit Wang Perak Malaya 1904 vs RM500 BNM


King Edward VII One Ringgit 1904B Incuse