Tuesday, August 12, 2014

Ribawi Di Akhir Zaman

Apabila telah marak perzinaan 
dan praktek ribawi di suatu negeri, 
maka sungguh penduduk negeri tersebut 
telah menghalalkan diri mereka 
untuk diadzab oleh Allah.”
(HR. Al Hakim)



Lawatan Ukhuwah ke Bapak Angkasa dan Ibu Isnaini, Kota Yogja


Selasa, hari kedua Lebaran Aidil Fitri, 1435 H.

1. Hangatnya mentari kota Jogja mengiringi laju sepeda motor yang kami tumpangi menuju sebuah rumah yang asri di kawasan Jalan Parangtritis, Yogyakarta. Sudah ada beberapa tamu yang hadir di sana rupanya. Bapak Angkasa dan Ibu Isnaini (Ketua JAWARA Yogyakarta) beserta putra-putrinya sebagai shohibbul bayt menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah.

2. Siang ini memang cukup istimewa, karena sebagian anggota JAWARA (Jaringan Wirausahawan dan Pengguna Dinar Dirham Nusantara) yang sedang menikmati libur Lebaran di Kota Selaksa Makna ini akan bersilaturahim dan saling berbagi cerita.

3. Selain anggota JAWARA Yogyakarta, tampak hadir pula ketua JAWARA Bintan dan Bekasi beserta keluarga. Perbincangan mengalir dengan sangat akrab, dimulai dari pembahasan mengenai koin-koin Dirham Bintan yang telah dicetak dan akan segera diedarkan, serah terima koin Dirham British titipan beberapa anggota JAWARA Jabodetabek, pembahasan tentang koleksi buku-buku milik tuan rumah yang sangat ‘menggiurkan’ untuk ‘dilahap’ (termasuk buku-buku muamalah yang cukup lengkap), serta tentu saja yang selalu menarik dan tak ada habisnya dibahas adalah mengenai pertanian dan perkebunan yang merupakan spesialisasi dari Pak Angkasa.

4. Saat makan siang pun obrolan masih berlanjut, bahkan semakin seru ditemani hidangan yang sangat menggugah selera serta buah-buahan yang dipetik dari kebun sendiri. Putra-putri Pak Angkasa dan Ibu Isnaini juga terlihat asyik berbagi cerita dengan para tetamu dan tak terlihat canggung meski baru pertama kali bertemu. Sungguh, keluarga yang sangat menyenangkan dan pandai memuliakan tamu.


5. Kurang afdhol rasanya bila berkunjung ke rumah keluarga Pak Angkasa tanpa dilanjutkan kunjungan ke kebun beliau. Dan inilah agenda kami berikutnya. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, kami sampai ke kebun yang luasnya hampir satu hektar di daerah Pajangan, Bantul. Pemandangan pertama yang tampak adalah sebuah rumah mungil bergaya villa yang kelihatan sangat homy dan terasa menyatu dengan lingkungan, selain karena bentuknya yang natural juga karena materialnya banyak diambil dari lokasi setempat. Seekor kucing jantan yang manja menjadi ‘penerima tamu’ siang itu.

6. Kurang afdhol rasanya bila berkunjung ke rumah keluarga Pak Angkasa tanpa dilanjutkan kunjungan ke kebun beliau. Dan inilah agenda kami berikutnya. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, kami sampai ke kebun yang luasnya hampir satu hektar di daerah Pajangan, Bantul. Pemandangan pertama yang tampak adalah sebuah rumah mungil bergaya villa yang kelihatan sangat homy dan terasa menyatu dengan lingkungan, selain karena bentuknya yang natural juga karena materialnya banyak diambil dari lokasi setempat. Seekor kucing jantan yang manja menjadi ‘penerima tamu’ siang itu.

7. Kami diajak oleh Mas Fikri, putra pertama Pak Angkasa untuk melihat-lihat kebun yang masih bernuansa hutan, dengan kontur tanah yang naik turun, tumbuhan semak di beberapa lokasi, juga daun-daun jati kering yang bertebaran di tanah dan memperdengarkan bunyi yang khas ketika terinjak (atau sengaja diinjak) oleh orang yang melewatinya. Pohon-pohon pepaya yang buahnya sangat ranum (sebagian sudah terhidang di meja makan tadi siang) cukup mendominasi pandangan mata. Juga tampak beberapa tanaman bunga yang ikut mencerahkan suasana dengan warna-warni indahnya.

8. Banyak terlihat galon bekas wadah air mineral berisi air ditempatkan di beberapa lokasi, yang ternyata berfungsi untuk menjaga kelembaban di area sekitarnya. Juga nampak pipa-pipa saluran air yang saling bersambungan. Di bawah naungan pepohonan tampak seekor kucing betina peliharaan keluarga sedang menikmati teduhnya suasana. Setelah menerobos ‘hutan’ mini tersebut, kami sampai di bagian atas kebun (yang cukup tinggi). Terlihat pemandangan perbukitan di Wilayah Bantul di kejauhan sana. Cantik.

9. Cerita masih berlanjut seputar penggarapan kebun dan berbagai hal menarik lainnya termasuk berbagi pengalaman mengenai ‘hunting’ lokasi pertanahan di Yogyakarta dan sekitarnya.
Tak terasa mentari semakin tinggi, kami kembali menelusuri ‘hutan’ kebun menuju ke rumah villa dan melaksanakan Sholat Dhuhur. Meski masih ingin berbincang, namun tugas silaturahim selanjutnya telah menanti dan kami harus berpamitan. Beberapa buah pepaya berukuran jumbo yang dipetik sendiri oleh yang empunya menjadi buah tangan untuk kami bawa pulang.

10. Alhamdulillah, pertemuan yang singkat namun hangat dan penuh selaksa makna. Memang, sejatinya manusia akan kembali ke fitrahnya. Seperti dikutip dari kata-kata Pak Angkasa, bahwa “Tanah adalah sumber penghidupan kita. Disini kita menanam, memelihara, dan menikmati hasilnya. Jadi sudah selayaknya kita mengembalikan apa yang telah kita ambil, bertani dengan cara yang baik (sebisa mungkin gunakan bahan-bahan alami, bukan bahan kimia sintetis)”. Itulah yang terbaik bagi manusia, kembali kepada apa yang telah diberikan dan ditentukan oleh Rabb-nya, dan kembali bersahabat dengan alam serta segala sesuatu yang alami, bukan yang palsu/buatan.
Semoga kita semua dapat meneladaninya.

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1435 H.
Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, kullu ‘aamin wa antum bikhair.
Semoga Allah menerima amalan dari kami dan amalan kalian, puasa kami dan puasa kalian, semoga kebaikan menyertai kalian sepanjang tahun.6. Kami diajak oleh Mas Fikri, putra pertama Pak Angkasa untuk melihat-lihat kebun yang masih bernuansa hutan, dengan kontur tanah yang naik turun, tumbuhan semak di beberapa lokasi, juga daun-daun jati kering yang bertebaran di tanah dan memperdengarkan bunyi yang khas ketika terinjak (atau sengaja diinjak) oleh orang yang melewatinya.
Pohon-pohon pepaya yang buahnya sangat ranum (sebagian sudah terhidang di meja makan tadi siang) cukup mendominasi pandangan mata. Juga tampak beberapa tanaman bunga yang ikut mencerahkan suasana dengan warna-warni indahnya.

6. Banyak terlihat galon bekas wadah air mineral berisi air ditempatkan di beberapa lokasi, yang ternyata berfungsi untuk menjaga kelembaban di area sekitarnya. Juga nampak pipa-pipa saluran air yang saling bersambungan. Di bawah naungan pepohonan tampak seekor kucing betina peliharaan keluarga sedang menikmati teduhnya suasana.

7. Setelah menerobos ‘hutan’ mini tersebut, kami sampai di bagian atas kebun (yang cukup tinggi). Terlihat pemandangan perbukitan di Wilayah Bantul di kejauhan sana. Cantik. Cerita masih berlanjut seputar penggarapan kebun dan berbagai hal menarik lainnya termasuk berbagi pengalaman mengenai ‘hunting’ lokasi pertanahan di Yogyakarta dan sekitarnya.
8. Tak terasa mentari semakin tinggi, kami kembali menelusuri ‘hutan’ kebun menuju ke rumah villa dan melaksanakan Sholat Dhuhur. Meski masih ingin berbincang, namun tugas silaturahim selanjutnya telah menanti dan kami harus berpamitan. Beberapa buah pepaya berukuran jumbo yang dipetik sendiri oleh yang empunya menjadi buah tangan untuk kami bawa pulang.

9. Alhamdulillah, pertemuan yang singkat namun hangat dan penuh selaksa makna. Memang, sejatinya manusia akan kembali ke fitrahnya. Seperti dikutip dari kata-kata Pak Angkasa, bahwa “Tanah adalah sumber penghidupan kita. Disini kita menanam, memelihara, dan menikmati hasilnya. Jadi sudah selayaknya kita mengembalikan apa yang telah kita ambil, bertani dengan cara yang baik (sebisa mungkin gunakan bahan-bahan alami, bukan bahan kimia sintetis)”. Itulah yang terbaik bagi manusia, kembali kepada apa yang telah diberikan dan ditentukan oleh Rabb-nya, dan kembali bersahabat dengan alam serta segala sesuatu yang alami, bukan yang palsu/buatan.
Semoga kita semua dapat meneladaninya.

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1435 H.

Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, kullu ‘aamin wa antum bikhair.
Semoga Allah menerima amalan dari kami dan amalan kalian, puasa kami dan puasa kalian, semoga kebaikan menyertai kalian sepanjang tahun.

Sunday, August 10, 2014

Anda Ingin Mengajar atau Berdakwah ?


1. Dua profesor bangsa cina muslim masa bujang dulu pernah belajar dan tinggal sementara di Institut Dalin Nur pada awal tahun 1980an. Kita gelar mereka Prof. Azman Hua (UIA) dan Prof. Syarif Wee (UKM). Nama samaran bagi rahsia identiti sebenar. Nanti keluarga marah. Sahabat handai irihati atau terusik memori arus dakwah. Selesai buat Sarjana Master dan Doktor Falsafah pengajian islam. Siapa sangka tangga kejayaan duniawi yang dicapai. Rakam penghargaan pada para guru, ustaz, muqadim, amir dan shuyukh.

2. Kini mereka telah berkeluarga. Ada jemaah dan malah ada gelaran/darjat baru. Khalifah. Sheikh, muqaddim. Bersanad dan berijazah sufiyya. Syazuli, Qadiri, Shattari, Darqawi, Nashqabandi, Chisti atau Alawi. Tak kisah asal selamat bertariqat. Tahu kekurangan diri. Arif akan ujian nafsu, rohani dan kuasa duniawi. Ada selendang hijau, merah atau kuning. Gunung Darqawi biru jarang hujan. Serban hijau guru maulana pakai waktu moussem dan haul masyaikh.

3. Apa mesejmu wahai faqir pasca al-Rumi ? Dari 20 pejuang muda cina muslim kini tinggal sidi zhuigan yang istiqama. Lembah attar harum semerbak. Tasik fansuri berombak makrifat dingin. Denai al-junaid penuh duri. Lorong abu turab hashimi lee berdebu hingga ke kota kudus Qum.
Sediakan daftar nama murid setia atas keping buluh perindu Bukit Pencala Arqam kata Master Izi.
Jenerasi depan akan cepat lupa.

4. Siapa pengasas dan pendiri al-Hunafa, Darul Fitrah dan Macma ? Ramai tokoh, alim ulama dan pemimpin hilang pergi tiada ganti. Ustaz Ishak Ma, Tun Omar Ong Yoke Lin, Hj.Sulaiman Hon, Nasir Ma Li, Ibrahim Ma Tian Ying, General Omar Pai, Shamsudin Tung, Hj.Mokhtar Stork, Yusuf Yap, Hj. Ibrahim Heng....dll...

5. Bersedialah wahai anak nusantara ! Bahtera warisan hamzah fansuri luas, besar dan kuat untuk kita belayar harungi lautan shariat dan mencapai tebing haqiqat. Mahu berpedoman dengan Imam Wang Daiyue ? Sayang bahasa mandarinku yi tian tian. Admiral Zhenghe buat pelayaran haji badal untuk maharaja ? Sunan Qudus berguru dengan alim sufi china sheikh abdal qadir as-sinni ?

6. Bapak Effendi Teuw kagum dengan fadilat doa zikir ini : 'Allahumma a-inni ala zikrika wa syukrika wa husni ibadatika". Baca 3 x lepas tiap salat fardu. Ada lagi- Allahumma inna nas-aluka imanan daiman, wa nas-aluka qalban khasyi-an, wa nas-aluka ilman nafian, wa nas-aluka yaqinan sodiqan wa nas-aluka dinan qayyiman... (mohon iman yang kekal, hati yang khusyuk, ilmu bermanfaat, yaqin yang tulus, agama yg.mantap teguh...seterusnya mohon afiat yg.sempurna dan kaya-berdikari dari manusia (ghina anin-nas)".

Wednesday, August 6, 2014

Prof. Dr.Taufik Yap Yun Hin - Tokoh China Muslim dibidang dakwah dan akademik



Itu kunci kejayaan Ketua Pusat Penyelidikan Sains Katalisis dan Teknologi merangkap Profesor Jabatan Kimia Fakulti Sains, Universiti Putra Malaysia (UPM) Prof Dr Taufiq Yap Yun Hin yang sentiasa menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi utama dalam hidupnya untuk terus memajukan diri selepas lebih 30 tahun memeluk agama suci ini.

Anak sulung daripada empat beradik itu boleh dikategorikan sebagai ikon pendidikan terbaik saudara baru di negara ini kerana memperoleh pelbagai anugerah dan pengiktirafan dalam bidang sains dan kimia seperti dinobatkan sebagai ‘Top Research Scientist Malaysia 2013’, Tokoh Maal Hijrah Negeri Selangor kategori Saudara Kita 2012, ‘The Outstanding Young Malaysian Award 2008’ dan Anugerah Saintis Muda Negara 2002. Selain memegang jawatan sebagai Timbalan Presiden Persatuan Cina Muslim Malaysia (MACMA) dan Ahli Majlis Kebangsaan Pertubuhan Kebajikan Islam Malaysia (PERKIM), beliau yang dilahirkan di Kota Kinabalu, Sabah turut memanfaatkan masanya dengan berdakwah menerusi pelbagai program ceramah termasuk di radio tanah air yang lebih kepada sesi bertukar pendapat dan fikiran berkaitan Islam merangkumi pelbagai sudut.

Menceritakan semula saatnya memeluk Islam pada 1983, beliau yang berusia 46 tahun berketurunan hakka ( asal keluarga dari wilayah kwang tung, selatan china) dan mempunyai empat anak mengakui situasi ditempuh pada awalnya agak sukar kerana terpaksa menyembunyikan minat berkaitan Islam daripada pengetahuan keluarganya.

“Saya yang belajar di tingkatan empat di sebuah sekolah di Sabah ketika itu berada dalam keadaan samar dan masih tercari-cari Tuhan sebenar selain mahu mengetahui secara lebih mendalam berkaitan asal-usul manusia dan tujuan kehidupan di dunia.

“Saya kemudiannya tertarik dengan fitrah tulang rusuk lelaki yang kurang daripada kaum wanita dan membuat perbandingan antara kitab Injil serta al-Quran.

“Selepas 11 bulan melakukan pembacaan dan rujukan, saya merasai wujud beberapa perbezaan agak ketara antara kedua-duanya lalu mengambil keputusan untuk memeluk Islam pada pagi 26 November 1983 di rumah seorang guru saya,” katanya kepada Metro Ahad di sini.

Beliau kemudian memaklumkan perkara itu kepada keluarganya yang menghormati keputusan itu dan hubungan antara mereka masih utuh serta baik seperti biasa.

“Saya cuba memberi penerangan lebih lanjut berkaitan Islam kepada keluarga namun mereka masih was-was mengenainya. Pada April 1985, bapa tiri saya dimasukkan ke hospital kerana masalah kesihatan kronik dan saya sempat mengajarnya mengucap dua kalimah syahadah sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya tiga hari kemudian.

“Ibu saya (Aishah Chin Szi Kiaw, 73) menceritakan bahawa dia bermimpi arwah bapa hadir memberitahu sudah memeluk Islam. Saya bersyukur kerana ibu dan seorang adik lain akhirnya memperoleh hidayah kerana turut mengikut jejak kami pada pertengahan 1987,” katanya yang kemudiannya melanjutkan pengajian di Universiti Pertanian (kini Putra) Malaysia (UPM) di Bintulu.

Kata Taufiq, hatinya semakin tenang selepas memeluk Islam sehingga membolehkan beliau menamatkan pengajian di University of Manchester Institute of Science and Technology (UMIST) di United Kingdom (UK) dalam jurusan Sains Katalisis sebelum bertugas sebagai pensyarah di UPM Serdang.

“Kehidupan saya bertambah sempurna apabila menikahi isteri, Dr Amalina Abdullah, yang berusia 46 tahun dan hasil perkahwinan, kami dikurniakan empat anak. Hubungan saya dengan keluarga berbangsa Cina lain juga baik malah kami turut bersama-sama menyambut Aidilfitri,” katanya.

Menurutnya, antara motivasi untuk dirinya berjaya ialah tidak mahu dipandang rendah atau diperlekehkan oleh masyarakat terutama bukan Islam.

“Saya sentiasa berkejar untuk mencari kejayaan dengan menjadikan Islam sebagai inspirasi. Antaranya mencontohi ketamadunan dan tokoh Islam terdahulu. Saya mahu membuktikan bahawa Cina Muslim seperti saya juga boleh berjaya dan mencari rezeki halal untuk keluarga.

“Apa yang penting ialah mencari ilmu sama ada duniawi dan akhirat. Tingkatkan tahap pendidikan kerana kerajaan sememangnya menyediakan pelbagai kemudahan termasuk kepada golongan saudara baru. Selain itu, kita perlu sentiasa berusaha dan berdikari tanpa sesekali berputus asa untuk mendapat apa yang kita mahu,” katanya.


A Tea Cup of Self Awakening


I accidentally stumbled upon “The Path of the Mystic” where he talks about tea, and what tea is for Zen Buddhist monks. I was touched reading this, because I see tea and tea ceremony in exactly the same way. When you are here and now, when you are aware, when you are in the flow – then even the most ordinary tea is meditation. It is Beauty. The beauty of life is in mundane things – if we are aware.
 
Question: How does the Man of Zen take his Tea?

Master:  For the man of Zen everything is sacred — even taking a cup of tea. Whatever he does, he does as if he is in a holy space…
… In Zen there is no God. In Zen there is only you and your consciousness. Your consciousness is the highest flowering in existence up to now. It can go still higher, and the way to take it higher is to create your whole life in such a way that it becomes sacred.

A cup of tea is the most ordinary thing, but they make in every monastery a special temple for drinking tea, surrounded by beautiful trees, ponds… a small temple. You enter into the temple, taking your shoes off, and Zen believes, “Where you leave your shoes, leave yourself too.” So you enter into the temple absolutely pure, uncontaminated.

In the tea house, the tea temple, nobody talks. Only silence deepens. Everybody sits in the Zen meditative posture. The samovar is preparing the hot water for the tea, and the sound of the samovar has to be listened to as carefully as you have listened to your master. It does not matter what you are listening to, what matters is how you are listening.


Zen changes everything and takes a far more significant posture: it is not a question of what you are listening to, it is a question of how you are listening. So it doesn’t matter whether the master is speaking or the sound of the samovar. And everybody is sitting there silently while the tea is being prepared.

Listening to the samovar… slowly the aroma, the fragrance of the tea leaves fills the temple. You have to be available to it as if it is divine grace. It is transforming everything small — the smallest, most negligible things — into something very significant, meaningful… giving it a religious color. And then the woman who is tending the tea will come to you. Her grace in pouring tea into your cups, and the silence, and the sound of the samovar, and the fragrance of fresh tea, creates a magic of its own.

Nobody speaks. Everybody starts sipping the tea, tasting as totally as possible, being in the moment as intensely as possible, as if the whole world has disappeared. Only the tea is there; you are there — and the silence. Now a very mundane affair… all over the world people drink tea and coffee and everything, but nobody has been able to transform the character of the mundane into the sacred.
As the tea is finished, they bow down to the woman in respect. Slowly they go out of the temple without making any noise. In fact people all over the world don’t enter into temples with such silence; in the temple all kinds of talking and gossips are going on. Women are enquiring about each other’s jewelry and clothes — in fact they go there to show off their jewelry and clothes; they don’t have any other place to exhibit their possessions. All the temples and churches are nothing but gossiping clubs where people go to gossip about all kinds of mundane things. They destroy the whole meaning. And Zen has changed a very ordinary thing into an extraordinary experience. You will never forget drinking tea with a man of Zen. You will be fortunate if the master is present. Every gesture is filled with significance.
It is called a tea ceremony, not tea drinking. It is not a tea shop or a tea stall, it is a temple: here, ceremonies happen. This is only symbolic. In the whole of life, around the clock, you have to remember that wherever you are it is a holy land and whatever you are doing it is divine.

But just remembering will not be of much help. It is supported by meditation; otherwise it will remain a mind thing, it won’t go deep. That meditation is always there to give it depth. So the whole day in a Zen monastery, from the morning when people get up till the night when they go to sleep, is a long prayer. They are not praying — there is no God to pray to — but they are prayerful, they are thankful, they are grateful. And with the meditation in the background, each small thing starts having new significances that you had never thought about.

Who had thought that a cup of tea could have some spiritual significance? But in Zen it has. If you look just on the surface it may look like a ritual. If you are an outsider, it may look like a ritual. You have to be an insider to understand that it is not a ritual; they are really living it, enjoying it, because behind it is the world of meditation, silence.

It is not only the silence in the temple; a greater silence is within them. It is not only the holiness outside; a greater holiness is within them. The whole day they are whole — whatever they are doing: cleaning the grounds of the monastery, working in the garden, cutting wood, carrying water from the well, cooking food. Whatever they are doing, they are doing so totally that unless you are an insider you can see only their action. You will not be able to see from where that action arises — the oceanic depth within them…


…This is changing the whole ideology of ordinary mind: it judges the act, it never bothers about the consciousness out of which this action is born. An action coming out of meditation becomes sacred, and the same action without meditation is mundane.

We have made our lives full of mundane things, mundane acts, because we don’t know a simple secret that can transform the quality of everything that we do. And remember, if you don’t know the secret of transformation, amongst those mundane things you are also mundane. Unless you have a consciousness which makes you sacred and holy, which is going to transform everything that you do into the same category in which you are…

Whatever you will touch will become sacred. Whatever you will do will become holy.


Zen is the very essence of all religions, without their stupid rituals, nonsensical theologies. It has dropped everything that could be dropped. It has saved only that which is the very soul of religiousness. So even drinking a cup of tea with a Zen master, you will find you are participating in a religious phenomenon.
a.

Tea of Harmony, Humility, Tranquilty and Oneness




The tea ceremony became increasingly codified over the following centuries and evolved from a Chinese to a Japanese style. In the 15th century, Zen monk Murata Shuko introduced the concept of wabi, which emphasizes simplicity, imperfection, asymmetry, humility and naturalness.

Another important tea ceremony concept that became popular around this time is ichi-go, ichi-e (one time, one meeting), based on the idea that life is transient and each tea ceremony is a unique combination of people and experiences that will never be repeated.





a

Sunday, August 3, 2014

Year 2014: Five Hakka as Goverment Ministers in Malaysia

THE camaraderie was evident at a recent appreciation dinner organised by the Kuala Lumpur and Selangor Hakka Association.The event at Noble House, Kuala Lumpur, was held to celebrate the appointment of five Hakka members who were appointed to ministerial posts.

These included Transport Minister Datuk Seri Liow Tiong Lai, Minister in the Prime Minister’s Department Datuk Dr Wee Ka Siong, Deputy International Trade and Industry Minister Datuk Lee Chee Leong, as well as Senator Datuk Chai Kim Sen and Senator Chong Sin Woon.
Liow and Dr Wee are also MCA president and deputy president, respectively.

KL and Selangor Hakka Association honorary president Tan Sri Ng Teck Fong said the event was held to acknowledge the contributions of the Hakka community in Malaysia.

“This is the first time MCA has had a Hakka president. It is a proud moment for us as both the president and deputy president are from the Hakka community,” he said.

KL and Selangor Association president Datuk Dr Lim Chee Shin said the appointment of five Hakka members would help to represent the Chinese community and address their concerns in Cabinet.
“We hope to encourage the younger generation to contribute to the nation’s growth and for our leaders to be good role models,” he added,

Postscript:

Other notable hakka leaders in the past are Tan Sri Lee Kim Sai (Deputy President MCA). Singapore's Lee Kuan Yew of course a hakka but with peranakan descents.